Cari di sini

Minggu, 28 Desember 2008

Pandangan Hukum Positif Terhadap Perbuatan Mempekerjakan Anak dalam Film

By Nasrullah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan
Dewasa ini, industri film Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Ada puluhan film yang dibuat oleh para produser dan sutradara tiap tahunnya. Baik itu berupa film layar lebar, film televisi, maupun sinetron (film drama). Namun, hal yang sangat disayangkan adalah ketidak sinergian antara perkembangan industri film tadi dengan tanggung jawab moral para pengusaha industri film.
Sangat banyak tanggung jawab moral yang dilanggar oleh mereka. Diantaranya adalah melibatkan anak dibawah umur dalam kegiatan indusri mereka. Kebanyak anak tersebut memerangkan peran utama sehingga menguras tenaga anak-anak tersebut, juga waktu bermain mereka. Belum lagi adegan-adegan yang mereka perankan, lebih banyak tidak pada porsi seusia mereka “peran yang seharusnya dimainkan oleh orang dewasa”.
Selain tanggung jawab moral yang dilanggar oleh mereka. Juga terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan terhadap anak. Namun, pemerintah sebagai pelindung anak bangsanya belum mampu juga bertindak secara optimal memberikan sanksi yang tegas kepada pengusaha industri film yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan.
Olehnya itu, sangat dibutuhkan perangkat perlindungan yang efektif kepada anak-anak tersebut. Agar tidak dieksploitasi oleh para pengusaha industri film tersebut. Perangkat perlindungan yang efetif tersebut adalah berupa perangkat hukum yang dapat menjadi acuan dalam memberikan sanksi kepada para pelaku industri film yang melakukan eksploitasi terhadap anak.

1.2 Permasalahan
1. Bagaimana tinjauan hukum positif terhadap perbuatan pengusaha yang mempekerjakan anak sebagai aktor dalam film?
2. Bagaimana tinjauan hukum positif terhadap perbuatan orang tua yang mempekerjakan anaknya sebagai aktor dalam film?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tinjauan hukum positif terhadap perbuatan pengusaha yang mempekerjakan anak sebagai aktor dalam film.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum positif terhadap perbuatan orang tua yang mempekerjakan anaknya sebagai aktor dalam film.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Yuridis
Pasal 28B Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak mengembangkan dirinya melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 1 Ayat 12 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Hak anak adalah bagian dari has asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.
Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Pasal 16 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
Pasal 23 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara,mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pasal 77 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya.
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda palimg banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 26 Ayat 26 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 68 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



Pasal 70 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi:
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat:
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi:
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat:
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
2.2 Tinjauan Hukum Positif terhadap Perbuatan Pengusaha yang Mempekerjakan Anak sebagai Aktor dalam Film
Pengusaha industri film selama ini telah melakukan eksploitasi terhadap anak yang dipekerjakan sebagai aktor dalam film. Contoh eksploitasi yang dilakukan adalah mempekerjakan anak di bawah umur 13 tahun, seperti dalam film yang berjudul ”Cerita SMA” yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta di Indonsesia. Hal tersebut sungguh telah melanggar ketentuan dalam Pasal 68 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Juga pada Pasal 69 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Dalam ketentuan perundang-undangan tersebut jelas bahwa anak di bawah umur 13 tahun tidak boleh dipekerjakan oleh pengusaha. Bahkan anak yang berumur antara 13 tahun sampai dengan 15 tahun pun hanya dibolehkan bekerja pada pekerjaan-pekerjaan ringan saja, bahkan waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dan tidak boleh mengganggu waktu sekolah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Pasal 69 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Perilaku pengusaha industri film sungguh telah melanggar hak asasi anak untuk tumbuh, dan berkembang, serta memenuhi kebutuhan dasarnya. Contoh kebutuhan dasar anak adalah bermain dan bergembira bersama-sama dengan teman sebayanya. Mereka juga berhak atas pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia (dapat dilihat lebih jelasnya pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945).
Hak atas pendidikan anak yang dilanggar oleh pengusaha industri film dan iklan dapat dilihat pada waktu kerja anak yang kebanyakan pada pagi dan siang hari yang secara langsung telah menggangu waktu sekolah (pendidikan) anak tersebut. Perbuatan pengusaha tersebut telah bertentangan dengan Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Juga bertentangan dengan Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945 Setiap orang berhak mengembangkan dirinya melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Perbuatan pengusaha industri film yang mempekerjakan anak sehingga anak tersebut telah terasa diambil hak asasi nya, sehingga terasa juga ada diskriminasi terhadap anak. Kemudian timbul akibat-akibat seperti anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosial. Maka pengusaha tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2.3 Tinjauan Hukum Positif Terhadap Perbuatan Orang Tua yang Mempekerjakan Anaknya sebagai Aktor dalam Film
Orang tua selama ini sedikit banyaknya memiliki peran dalam menghadirkan praktek eksploitasi anak dalam industri film. Mereka juga termasuk pelaku yang menyebabkan hak-hak asasi anaknya terjajah. Hak-hak asasi seperti bermain, kelangsungan pendidikan, dan pengembangan minat dan bakatnya (substansi dari Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945).



Orang tua memiliki kewajiban-kewajiban terhadap anaknya sesuai dengan apa yang tertuan dalam Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara,mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Namun kemudian terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh orang tua anak yang bekerja sebagai aktor dalam industri film dan iklan terhadap Poin a dan b Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di atas. Orang tua sering melupakan kewajibannya untuk harus lebih mementingkan mengasuh anaknya, juga memelihara, mendidik, dan melindungi anaknya. Termasuk juga pengembangan kemampuan, bakat, dan minat anaknya.
Orang tua anak yang bekerja di dalam industri film sebagai aktor juga dapat dianggap telah melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anaknya. Alasannya adalah anak dipekerjakan karena akan dapat memberikan penghasilan yang besar terhadap mereka. Padahal, perbuatan mereka telah melanggar hak anak yang terdapat dalam Pasal 1 Poin b Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
Sampai saat ini, masih banyak orang tua yang mempekerjakan anaknya sebagai aktor dalam industri film. Walaupun telah banyak ketentuan perundang-perundangan yang mengatur tentang perlindungan anak dari eksploitasi. Hal ini disebabkan karena ketentuan perundang-perundangan yang telah ada tersebut belum mengatur secara tegas dan memberikan sanksi yang tegas kepada mereka yang melanggar.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terdapat banyak ketentuan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak yang telah dilanggar oleh para pelaku usaha industri film dan iklan terhadap anak yang bekerja dalam film sebagai aktor. Seperti Pasal 68, Pasal 69 Ayat 1,Pasal 69 dan Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja. Termasuk juga pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945.
Begitupun dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak yang telah dilanggar oleh orang tua anak yang bekerja dalam film sebagai artis ataupun aktor. Seperti Poin a dan b Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Termasuk juga pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945, serta Pasal 1 Poin b Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
3.2 Saran
1. Seharusnya pemerintah lebih meningkatkan lagi perlindungan terhadap anak-anak.
2. Sebaiknya orang tua dan pengusaha tidak melakukan eksploitasi terhadap anak-anak karena itu bisa mengganggu pola pikir dan perkembangan anak.
3. Seharusnya ketentuan perundang-undangan mengatur secara tegas dan memberikan sanksi yang tegas pula kepada mereka yang melanggar.
Nama : Nasrullah
NM : 07400012
Kelas : III/A
Tugas : Hukum Administrasi Negara (UAS)

1.
(1.a) Ada banyak sanksi-sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kita, seperti misalnya dalam Undang-undang kepegawaian (Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian), dalam Undang-Undang Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Di Indonesia, paksaan pemerintah (bestuurdwang) sudah dikenal sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya. Undang-undang tersebut memberi kewenangan kepada penguasa daerah pada waktu itu untuk bertindak secara bestuurdwang. Tindakan bestuurdwang dimaksud yakni wewenang bagi Penguasa Daerah guna memerintahkan kepada seorang pemakai tanah tanpa izin untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan dengan segala bidang dan orang yang menerima hak dari padanya atau dalam hal setelah berlakunya tenggang waktu yang ditentukan di dalam perintah pengosongan dan ternyata belum dipenuhi oleh yang bersangkutan, maka penguasa daerah yang bersangkutan atau pejabat yang diberi perintah olehnya melaksanakan pengosongan atas biaya pemakai tanah sendiri. Sementara itu di Belanda, paksaan pemerintah merupakan tindakan nyata yang dilakukan oleh organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

(1.b) Pelaksanaan paksaan pemerintah (bestuurdwang) adalah wewenang, bukan kewajiban. Artinya, sebelum menjalankan bestuurdwang, badan pemerintah wajib mempertimbangkan semua kepentingan yang terkait. Di antara yang harus dipertimbangkan adalah kepentingan umum yang dirugikan oleh keadaan ilegal; kepentingan pencegahan pengaruh preseden; dan kepentingan pihak ketiga (biasanya bagi orang-orang yang diam di sekitarnya). Selain pertimbangan di atas, patut pula dipertimbangkan kepentingan dari pelanggar dengan dipertahankannya keadaan yang ilegal; masalah-masalah praktis atau ketidakmungkinan; pembiayaan yang tinggi dari paksaan pemerintah (bestuurdwang); dan jika perlu ditindak sesuai hukum pidana (tidak menggunakan instrumen hukum administrasi).
Pelaksanaan paksaan pemerintah (bestuurdwang) wajib didahului dengan surat peringatan tertulis yang dituangkan dalam bentuk KTUN. KTUN dimaksud harus dikeluarkan oleh Pejabat/Bada Tata Usaha yang berwenang seperti Kepala Daerah. Surat peringatan tertulis tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Peringatan itu tidak dapat diadakan secara tanpa ikatan.
b. Perintah tertulis/peringatan tertulis harus memuat perintah yang jelas. Harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh warga negara yang mendapat surat pemberitahuan guna mencegah pemerintah mengambil tindakan-tindakan nyata.
c. Surat perintah harus memuat ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang dilanggar.
d. Harus ditentukan suatu jangka waktu perintah harus dilaksanakan.
e. Perintah harus ditujukan pada yang berkepentingan, yang menurut kenyataan memang juga mampu mengakhiri pelanggaran itu. Bisa ditujukan langsung kepada pelanggar atau pihak yang memiliki tempat yang digunakan oleh pelanggar.
f. Eksplisit atau implisit harus nyata bahwa biaya-biaya dalam hal tata usaha negara harus berindak, akan dibebankan pada pelanggar.
Selain syarat-syarat di atas, N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge sebagaimana disarikan oleh Ridwan HR., menambahkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Harus menyebut organ yang berwenang yang memberikan peringatan tertulis tersebut.
b. Harus digambarkan dengan jelas pelanggaran yang nyata. Syarat ini muncul dari yurisprudensi, yaitu pembebaran yang jelas dari keadaan atau tingkah laku yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang.
c. Pemberian beban harus jelas dan seimbang.
d. Pemberian beban harus tak bersyarat.
e. Beban mengandung pemberian alasannya.
Dalam hal penerapan paksaan pemerintah (bestuurdwang), tata usaha negara harus pula memperhatikan syarat-syarat kecermatan. Tata usaha negara selayaknya tidak menimbulkan kerugian yang berlebihan bagi yang berkepentingan. Pembongkaran tidak perlu dilakukan dengan kasar.
2.
(2.a) Pengertian atau konsep Beschikking lebih luas dibandingkan dengan pengertian atau konsep keputusan Tata Usaha Negara. Dalam beschikking, ketetapan lisan pun telah dianggap sebagai beschikking. Sedangkan dalam Keputusan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis (Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN)
(2.b) Tidak semua keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat melalui PTUN. Hanya keputusan yang sebagaimana dengan maksud pada Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN yaitu Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata. Jadi harus memenuhi unsur-unsur:
1. Penetapan tertulis
2. dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
3. berisi tindakan tata usaha negara
4. berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5. bersifat kongkrit, Individual, Final
6. menimbulkan akibat hukum
7. bagi orang atau badan hukum perdata
Juga bukan keputusan Tata Usaha Negara yang disebut pada Pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persertujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat huum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan Komsi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah.
3.
(3.A) Bentuk perlindungan hukum yang preventif, menekankan akseptabilitas sebuah peraturan di tengah masyarakat. Selama ini,bentuk perlindungan seperti ini masih kurang terakomodir. Hal ini karena besarnya benturan kepentingan antara anggota pembuat peraturan di negeri ini. Contoh peraturan perundang-undangan yang dhasilkan dari bentuk seperti ini adalah Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Kemudian bentuk perlindungan hokum refresif, kurang memperhatikan pertimbangan public secara luas, dan peraturan perundang-undang yang dihasilkan lebih sering mendatangkan penolakan dari masyarakat. Contoh Undang-Undang Tentang Badan Hukum Pendidikan, Undang-Undang Tentang Pornografi dan Porno Aksi.

(3.b) Model perlindungan hukum yang lebih mengedepankan pelayanan publik adalah dititik beratkan pada saat pembuatan peraturan hukum tersebut. Keterimaan atau akseptabilitas peraturan tersebut harus terjamin di masyarakat, dan peruntukan peraturan tersebut adalah untuk kepentingan masyarakat, bukan hanya karena kepentingan politik belaka. Hukum dibuat untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk hukum.
4.
(4.a) Pengaturan tentang kewenagan dan hak Komisi Ombudsman dalam Keppres No. 44 Tahun 2000 masih sangat minim, hal ini karena pada saat itu aturan tentang Ombudsman bersifat premature dan terkesan dadakan. Baru kemudian pada bulan oktober 2008 dapat disahkan peraturan tentang Ombudsman yang lebih lengka setelah melalui pembahasan yang lumayan panjang.
Pertama dan yang cukup signifikan adalah pemberiaan ekslusivitas atas nama “Ombudsman”. Pasal 46 Bab Ketentuan Peralihan UU No.37 Tahun 2008 menyatakan “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, nama Ombudsman yang telah digunakan sebagai nama institusi, lembaga, badan hukum,terbitan atau lainnya yang bukan merupakan lembaga Ombudsman yang melaksanakan fungsi dan tugas berdasarkan undang-undang ini harus diganti dalam waktu paling lambat dua tahun sejak berlakunya undang-undang ini”.
Selain itu, UU Ombudsman memberi penambahan kewenangan Ombudsman dalam menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak (Pasal 8 ayat(1) huruf e). UU ini juga merampingkan komposisi Ombudsman yang awalnya berdasarkan Keppres berjumlah 11 orang, menjadi hanya tujuh orang. Masa jabatanditetapkan berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan tambahan.
Dalam menangani laporan, setiap pimpinan dan anggota Ombudsman diwajibkanmerahasiakan identitas pelapor. Kewajiban ini melekat terus meski pimpinan dan anggota yang bersangkutan berhenti atau diberhentikan. Namun, kewajiban ini dapat dikesampingkan dengan alasan demi kepentingan publik yangmeliputi kepentingan bangsa dan negara serta masyarakat luas.
Demi efektivitas kerjanya, Ombudsman juga diberi kewenangan untukmelakukan pemeriksaan lapangan ke objek pelayanan publik yang dilaporkan, tanpapemberitahuan terlebih dahulu. Inspeksi “dadakan” ini tetap harus memperhatikanketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban dan kesusilaan. Untukmenjaga netralitas, UU Ombudsman memuat aturan yang melarang pimpinanatau anggota Ombudsman turut serta memeriksa laporan jika di dalamnya memuatinformasi yang mengandung atau dapat menimbulkan konflik kepentingan.
UU Ombudsman ini juga memberikan dua hak ekslusif untuk Ombudsman. Pertama, hak imunitas atau kekebalan sebagai dukungan penuh terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman. Dengan imunitas ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 10, maka Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut atau digugat di muka pengadilan. Pada bagian penjelasan disebutkan imunitas tidak berlakuapabila Ombudsman melakukan pelanggaran hukum.
Kedua, upaya pemanggilan paksa. Pasal 31 menyatakan “Dalam hal terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa”.
(4.b) Komisi Ombudsman Nasional adalah alternatif pilihan tepat masyarakat apabila ada keluhan kepada kegiatan-kegiatan administrasi pemerintahan. Hal ini karena proses ke ombudsman yang mudah dan tidak butuh proses yang panjang. Cukup hanya dengan menelpon ke Call Centre nya di Jakarta, kemudian KON akan melakukan pemeriksaan terhadap lembaga administrasi yang bermasalah tersebut dan akan dikeluarkan surat rekomendasi pada lembaga tersebut untuk memperbaiki citranya. Di bandingkan dengan proses di Peradilan Tata Usaha Negara yang memerlukan waktu yang tidak sedikit juga lumayan rumit. Namun, kekuatan hukum hasil keputusan peradilan Tata Usaha Negara lebih kuat karena sudah menjadi kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang (Pasal 48 Ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Sumber Bacaan:
-Philipus M. Hadjon. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press.1993. Yogyakarta
-http://www.hukumonline.com
-http://www.ombudsman.go.id
-Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
-Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
-Undang-Undang No.37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya
-Keputusan Presiden No.44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional

Senin, 15 Desember 2008

“RESTRUKTURISASI dan PRIVATISASI BUMN”

Nama : Nasrullah
NIM : 07400012
Kelas : III-A
Tugas
“RESTRUKTURISASI dan PRIVATISASI BUMN”

Pengertian Restrukturisasi

Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan.

Pengertian Privatisasi

Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

Maksud dan Tujuan Restrukturisasi

1.Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional.
2.Tujuan restrukturisasi adalah untuk:
a)meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan;
b)memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara;
c)menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen; dan
d)memudahkan pelaksanaan privatisasi.
3.Pelaksanaan restrukturisasi sebagaimana dimaksud di atas tetap memperhatikan asas biaya dan manfaat yang diperoleh.

Ruang Lingkup Restrukturisasi
:
a)restrukturisasi sektoral yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebijakan sektor dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
b)restrukturisasi perusahaan/korporasi yang meliputi :
1.peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektor-sektor yang terdapat monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah;
2.penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan BUMN selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang baik dan menetapkan arah dalam rangka pelaksanaan kewajiban pelayanan publik;
3.restrukturisasi internal yang mencakup keuangan, organisasi/ manajemen, operasional, sistem, dan prosedur.

Maksud dan Tujuan Privatisasi

1.Privatisasi dilakukan dengan maksud untuk :
a)memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero;
b)meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan;
c)menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat;
d)menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif;
e)menciptakan Persero yang berdaya saing dan berorientasi global;
f)menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.
2.Privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero.

Prinsip Privatisasi

Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.


Kriteria Perusahaan yang dapat diprivatisasi
1.Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria:
a)industri/sektor usahanya kompetitif; atau
b)industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah.
2.Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan Undang-undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi.

Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
a)Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
b)Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
c)Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
d)Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.

Cara Pelaksanaan Privatisasi
a)penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal;
b)penjualan saham langsung kepada investor;
c)penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.

Komite Privatisasi

1.Untuk membahas dan memutuskan kebijakan tentang privatisasi sehubungan dengan kebijakan lintas sektoral, pemerintah membentuk sebuah komite privatisasi sebagai wadah koordinasi.
2.Komite privatisasi dipimpin oleh Menteri Koordinator yang membidangi perekonomian dengan anggota, yaitu Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Teknis tempat Persero melakukan kegiatan usaha.
3.Keanggotaan komite privatisasi sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Komite privatisasi bertugas untuk:
a)merumuskan dan menetapkan kebijakan umum dan persyaratan pelaksanaan Privatisasi;
b)menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperlancar proses Privatisasi;
c)membahas dan memberikan jalan keluar atas permasalahan strategis yang timbul dalam proses Privatisasi, termasuk yang berhubungan dengan kebijakan sektoral pemerintah.


Komite privatisasi dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud di atas dapat mengundang, meminta masukan, dan/atau bantuan instansi pemerintah atau pihak lain yang dipandang perlu.

Ketua komite privatisasi secara berkala melaporkan perkembangan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden.

Dalam melaksanakan Privatisasi, Menteri bertugas untuk:

a)menyusun program tahunan Privatisasi;
b) mengajukan program tahunan Privatisasi kepada komite privatisasi untuk memperoleh arahan;
c)melaksanakan Privatisasi.

Tata Cara Privatisasi

1.Privatisasi harus didahului dengan tindakan seleksi atas perusahaanperusahaan dan mendasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
2.Terhadap perusahaan yang telah diseleksi dan memenuhi kriteria yang telah ditentukan, setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Keuangan, selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat serta dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
3.Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Privatisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Setiap orang dan/atau badan hukum yang mempunyai potensi benturan kepentingan dilarang terlibat dalam proses Privatisasi.

Kerahasiaan Informasi

1.Pihak-pihak yang terkait dalam program dan proses Privatisasi diwajibkan menjaga kerahasiaan atas informasi yang diperoleh sepanjang informasi tersebut belum terbuka.
2.Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hasil Privatisasi

1.Hasil Privatisasi dengan cara penjualan saham milik negara disetor langsung ke Kas Negara.
2.Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran hasil Privatisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sumber Bacaan: Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.