Cari di sini

Minggu, 28 Desember 2008

Nama : Nasrullah
NM : 07400012
Kelas : III/A
Tugas : Hukum Administrasi Negara (UAS)

1.
(1.a) Ada banyak sanksi-sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kita, seperti misalnya dalam Undang-undang kepegawaian (Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian), dalam Undang-Undang Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Di Indonesia, paksaan pemerintah (bestuurdwang) sudah dikenal sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya. Undang-undang tersebut memberi kewenangan kepada penguasa daerah pada waktu itu untuk bertindak secara bestuurdwang. Tindakan bestuurdwang dimaksud yakni wewenang bagi Penguasa Daerah guna memerintahkan kepada seorang pemakai tanah tanpa izin untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan dengan segala bidang dan orang yang menerima hak dari padanya atau dalam hal setelah berlakunya tenggang waktu yang ditentukan di dalam perintah pengosongan dan ternyata belum dipenuhi oleh yang bersangkutan, maka penguasa daerah yang bersangkutan atau pejabat yang diberi perintah olehnya melaksanakan pengosongan atas biaya pemakai tanah sendiri. Sementara itu di Belanda, paksaan pemerintah merupakan tindakan nyata yang dilakukan oleh organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

(1.b) Pelaksanaan paksaan pemerintah (bestuurdwang) adalah wewenang, bukan kewajiban. Artinya, sebelum menjalankan bestuurdwang, badan pemerintah wajib mempertimbangkan semua kepentingan yang terkait. Di antara yang harus dipertimbangkan adalah kepentingan umum yang dirugikan oleh keadaan ilegal; kepentingan pencegahan pengaruh preseden; dan kepentingan pihak ketiga (biasanya bagi orang-orang yang diam di sekitarnya). Selain pertimbangan di atas, patut pula dipertimbangkan kepentingan dari pelanggar dengan dipertahankannya keadaan yang ilegal; masalah-masalah praktis atau ketidakmungkinan; pembiayaan yang tinggi dari paksaan pemerintah (bestuurdwang); dan jika perlu ditindak sesuai hukum pidana (tidak menggunakan instrumen hukum administrasi).
Pelaksanaan paksaan pemerintah (bestuurdwang) wajib didahului dengan surat peringatan tertulis yang dituangkan dalam bentuk KTUN. KTUN dimaksud harus dikeluarkan oleh Pejabat/Bada Tata Usaha yang berwenang seperti Kepala Daerah. Surat peringatan tertulis tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Peringatan itu tidak dapat diadakan secara tanpa ikatan.
b. Perintah tertulis/peringatan tertulis harus memuat perintah yang jelas. Harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh warga negara yang mendapat surat pemberitahuan guna mencegah pemerintah mengambil tindakan-tindakan nyata.
c. Surat perintah harus memuat ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang dilanggar.
d. Harus ditentukan suatu jangka waktu perintah harus dilaksanakan.
e. Perintah harus ditujukan pada yang berkepentingan, yang menurut kenyataan memang juga mampu mengakhiri pelanggaran itu. Bisa ditujukan langsung kepada pelanggar atau pihak yang memiliki tempat yang digunakan oleh pelanggar.
f. Eksplisit atau implisit harus nyata bahwa biaya-biaya dalam hal tata usaha negara harus berindak, akan dibebankan pada pelanggar.
Selain syarat-syarat di atas, N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge sebagaimana disarikan oleh Ridwan HR., menambahkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Harus menyebut organ yang berwenang yang memberikan peringatan tertulis tersebut.
b. Harus digambarkan dengan jelas pelanggaran yang nyata. Syarat ini muncul dari yurisprudensi, yaitu pembebaran yang jelas dari keadaan atau tingkah laku yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang.
c. Pemberian beban harus jelas dan seimbang.
d. Pemberian beban harus tak bersyarat.
e. Beban mengandung pemberian alasannya.
Dalam hal penerapan paksaan pemerintah (bestuurdwang), tata usaha negara harus pula memperhatikan syarat-syarat kecermatan. Tata usaha negara selayaknya tidak menimbulkan kerugian yang berlebihan bagi yang berkepentingan. Pembongkaran tidak perlu dilakukan dengan kasar.
2.
(2.a) Pengertian atau konsep Beschikking lebih luas dibandingkan dengan pengertian atau konsep keputusan Tata Usaha Negara. Dalam beschikking, ketetapan lisan pun telah dianggap sebagai beschikking. Sedangkan dalam Keputusan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis (Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN)
(2.b) Tidak semua keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat melalui PTUN. Hanya keputusan yang sebagaimana dengan maksud pada Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN yaitu Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata. Jadi harus memenuhi unsur-unsur:
1. Penetapan tertulis
2. dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
3. berisi tindakan tata usaha negara
4. berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5. bersifat kongkrit, Individual, Final
6. menimbulkan akibat hukum
7. bagi orang atau badan hukum perdata
Juga bukan keputusan Tata Usaha Negara yang disebut pada Pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persertujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat huum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan Komsi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah.
3.
(3.A) Bentuk perlindungan hukum yang preventif, menekankan akseptabilitas sebuah peraturan di tengah masyarakat. Selama ini,bentuk perlindungan seperti ini masih kurang terakomodir. Hal ini karena besarnya benturan kepentingan antara anggota pembuat peraturan di negeri ini. Contoh peraturan perundang-undangan yang dhasilkan dari bentuk seperti ini adalah Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Kemudian bentuk perlindungan hokum refresif, kurang memperhatikan pertimbangan public secara luas, dan peraturan perundang-undang yang dihasilkan lebih sering mendatangkan penolakan dari masyarakat. Contoh Undang-Undang Tentang Badan Hukum Pendidikan, Undang-Undang Tentang Pornografi dan Porno Aksi.

(3.b) Model perlindungan hukum yang lebih mengedepankan pelayanan publik adalah dititik beratkan pada saat pembuatan peraturan hukum tersebut. Keterimaan atau akseptabilitas peraturan tersebut harus terjamin di masyarakat, dan peruntukan peraturan tersebut adalah untuk kepentingan masyarakat, bukan hanya karena kepentingan politik belaka. Hukum dibuat untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk hukum.
4.
(4.a) Pengaturan tentang kewenagan dan hak Komisi Ombudsman dalam Keppres No. 44 Tahun 2000 masih sangat minim, hal ini karena pada saat itu aturan tentang Ombudsman bersifat premature dan terkesan dadakan. Baru kemudian pada bulan oktober 2008 dapat disahkan peraturan tentang Ombudsman yang lebih lengka setelah melalui pembahasan yang lumayan panjang.
Pertama dan yang cukup signifikan adalah pemberiaan ekslusivitas atas nama “Ombudsman”. Pasal 46 Bab Ketentuan Peralihan UU No.37 Tahun 2008 menyatakan “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, nama Ombudsman yang telah digunakan sebagai nama institusi, lembaga, badan hukum,terbitan atau lainnya yang bukan merupakan lembaga Ombudsman yang melaksanakan fungsi dan tugas berdasarkan undang-undang ini harus diganti dalam waktu paling lambat dua tahun sejak berlakunya undang-undang ini”.
Selain itu, UU Ombudsman memberi penambahan kewenangan Ombudsman dalam menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak (Pasal 8 ayat(1) huruf e). UU ini juga merampingkan komposisi Ombudsman yang awalnya berdasarkan Keppres berjumlah 11 orang, menjadi hanya tujuh orang. Masa jabatanditetapkan berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan tambahan.
Dalam menangani laporan, setiap pimpinan dan anggota Ombudsman diwajibkanmerahasiakan identitas pelapor. Kewajiban ini melekat terus meski pimpinan dan anggota yang bersangkutan berhenti atau diberhentikan. Namun, kewajiban ini dapat dikesampingkan dengan alasan demi kepentingan publik yangmeliputi kepentingan bangsa dan negara serta masyarakat luas.
Demi efektivitas kerjanya, Ombudsman juga diberi kewenangan untukmelakukan pemeriksaan lapangan ke objek pelayanan publik yang dilaporkan, tanpapemberitahuan terlebih dahulu. Inspeksi “dadakan” ini tetap harus memperhatikanketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban dan kesusilaan. Untukmenjaga netralitas, UU Ombudsman memuat aturan yang melarang pimpinanatau anggota Ombudsman turut serta memeriksa laporan jika di dalamnya memuatinformasi yang mengandung atau dapat menimbulkan konflik kepentingan.
UU Ombudsman ini juga memberikan dua hak ekslusif untuk Ombudsman. Pertama, hak imunitas atau kekebalan sebagai dukungan penuh terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman. Dengan imunitas ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 10, maka Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut atau digugat di muka pengadilan. Pada bagian penjelasan disebutkan imunitas tidak berlakuapabila Ombudsman melakukan pelanggaran hukum.
Kedua, upaya pemanggilan paksa. Pasal 31 menyatakan “Dalam hal terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa”.
(4.b) Komisi Ombudsman Nasional adalah alternatif pilihan tepat masyarakat apabila ada keluhan kepada kegiatan-kegiatan administrasi pemerintahan. Hal ini karena proses ke ombudsman yang mudah dan tidak butuh proses yang panjang. Cukup hanya dengan menelpon ke Call Centre nya di Jakarta, kemudian KON akan melakukan pemeriksaan terhadap lembaga administrasi yang bermasalah tersebut dan akan dikeluarkan surat rekomendasi pada lembaga tersebut untuk memperbaiki citranya. Di bandingkan dengan proses di Peradilan Tata Usaha Negara yang memerlukan waktu yang tidak sedikit juga lumayan rumit. Namun, kekuatan hukum hasil keputusan peradilan Tata Usaha Negara lebih kuat karena sudah menjadi kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang (Pasal 48 Ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Sumber Bacaan:
-Philipus M. Hadjon. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press.1993. Yogyakarta
-http://www.hukumonline.com
-http://www.ombudsman.go.id
-Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
-Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
-Undang-Undang No.37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya
-Keputusan Presiden No.44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional

Tidak ada komentar: