Cari di sini

Minggu, 28 Desember 2008

Pandangan Hukum Positif Terhadap Perbuatan Mempekerjakan Anak dalam Film

By Nasrullah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan
Dewasa ini, industri film Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Ada puluhan film yang dibuat oleh para produser dan sutradara tiap tahunnya. Baik itu berupa film layar lebar, film televisi, maupun sinetron (film drama). Namun, hal yang sangat disayangkan adalah ketidak sinergian antara perkembangan industri film tadi dengan tanggung jawab moral para pengusaha industri film.
Sangat banyak tanggung jawab moral yang dilanggar oleh mereka. Diantaranya adalah melibatkan anak dibawah umur dalam kegiatan indusri mereka. Kebanyak anak tersebut memerangkan peran utama sehingga menguras tenaga anak-anak tersebut, juga waktu bermain mereka. Belum lagi adegan-adegan yang mereka perankan, lebih banyak tidak pada porsi seusia mereka “peran yang seharusnya dimainkan oleh orang dewasa”.
Selain tanggung jawab moral yang dilanggar oleh mereka. Juga terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan terhadap anak. Namun, pemerintah sebagai pelindung anak bangsanya belum mampu juga bertindak secara optimal memberikan sanksi yang tegas kepada pengusaha industri film yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan.
Olehnya itu, sangat dibutuhkan perangkat perlindungan yang efektif kepada anak-anak tersebut. Agar tidak dieksploitasi oleh para pengusaha industri film tersebut. Perangkat perlindungan yang efetif tersebut adalah berupa perangkat hukum yang dapat menjadi acuan dalam memberikan sanksi kepada para pelaku industri film yang melakukan eksploitasi terhadap anak.

1.2 Permasalahan
1. Bagaimana tinjauan hukum positif terhadap perbuatan pengusaha yang mempekerjakan anak sebagai aktor dalam film?
2. Bagaimana tinjauan hukum positif terhadap perbuatan orang tua yang mempekerjakan anaknya sebagai aktor dalam film?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tinjauan hukum positif terhadap perbuatan pengusaha yang mempekerjakan anak sebagai aktor dalam film.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum positif terhadap perbuatan orang tua yang mempekerjakan anaknya sebagai aktor dalam film.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Yuridis
Pasal 28B Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi: Setiap orang berhak mengembangkan dirinya melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 1 Ayat 12 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Hak anak adalah bagian dari has asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara.
Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Pasal 16 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
Pasal 23 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara,mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pasal 77 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya.
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial.
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda palimg banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 26 Ayat 26 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 68 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi:
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



Pasal 70 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi:
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat:
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pasal 71 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi:
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat:
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
2.2 Tinjauan Hukum Positif terhadap Perbuatan Pengusaha yang Mempekerjakan Anak sebagai Aktor dalam Film
Pengusaha industri film selama ini telah melakukan eksploitasi terhadap anak yang dipekerjakan sebagai aktor dalam film. Contoh eksploitasi yang dilakukan adalah mempekerjakan anak di bawah umur 13 tahun, seperti dalam film yang berjudul ”Cerita SMA” yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta di Indonsesia. Hal tersebut sungguh telah melanggar ketentuan dalam Pasal 68 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Juga pada Pasal 69 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Dalam ketentuan perundang-undangan tersebut jelas bahwa anak di bawah umur 13 tahun tidak boleh dipekerjakan oleh pengusaha. Bahkan anak yang berumur antara 13 tahun sampai dengan 15 tahun pun hanya dibolehkan bekerja pada pekerjaan-pekerjaan ringan saja, bahkan waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dan tidak boleh mengganggu waktu sekolah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Pasal 69 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja yang berbunyi: Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Perilaku pengusaha industri film sungguh telah melanggar hak asasi anak untuk tumbuh, dan berkembang, serta memenuhi kebutuhan dasarnya. Contoh kebutuhan dasar anak adalah bermain dan bergembira bersama-sama dengan teman sebayanya. Mereka juga berhak atas pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia (dapat dilihat lebih jelasnya pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945).
Hak atas pendidikan anak yang dilanggar oleh pengusaha industri film dan iklan dapat dilihat pada waktu kerja anak yang kebanyakan pada pagi dan siang hari yang secara langsung telah menggangu waktu sekolah (pendidikan) anak tersebut. Perbuatan pengusaha tersebut telah bertentangan dengan Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Juga bertentangan dengan Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945 Setiap orang berhak mengembangkan dirinya melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Perbuatan pengusaha industri film yang mempekerjakan anak sehingga anak tersebut telah terasa diambil hak asasi nya, sehingga terasa juga ada diskriminasi terhadap anak. Kemudian timbul akibat-akibat seperti anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosial. Maka pengusaha tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2.3 Tinjauan Hukum Positif Terhadap Perbuatan Orang Tua yang Mempekerjakan Anaknya sebagai Aktor dalam Film
Orang tua selama ini sedikit banyaknya memiliki peran dalam menghadirkan praktek eksploitasi anak dalam industri film. Mereka juga termasuk pelaku yang menyebabkan hak-hak asasi anaknya terjajah. Hak-hak asasi seperti bermain, kelangsungan pendidikan, dan pengembangan minat dan bakatnya (substansi dari Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945).



Orang tua memiliki kewajiban-kewajiban terhadap anaknya sesuai dengan apa yang tertuan dalam Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara,mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Namun kemudian terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh orang tua anak yang bekerja sebagai aktor dalam industri film dan iklan terhadap Poin a dan b Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di atas. Orang tua sering melupakan kewajibannya untuk harus lebih mementingkan mengasuh anaknya, juga memelihara, mendidik, dan melindungi anaknya. Termasuk juga pengembangan kemampuan, bakat, dan minat anaknya.
Orang tua anak yang bekerja di dalam industri film sebagai aktor juga dapat dianggap telah melakukan eksploitasi ekonomi terhadap anaknya. Alasannya adalah anak dipekerjakan karena akan dapat memberikan penghasilan yang besar terhadap mereka. Padahal, perbuatan mereka telah melanggar hak anak yang terdapat dalam Pasal 1 Poin b Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.
Sampai saat ini, masih banyak orang tua yang mempekerjakan anaknya sebagai aktor dalam industri film. Walaupun telah banyak ketentuan perundang-perundangan yang mengatur tentang perlindungan anak dari eksploitasi. Hal ini disebabkan karena ketentuan perundang-perundangan yang telah ada tersebut belum mengatur secara tegas dan memberikan sanksi yang tegas kepada mereka yang melanggar.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terdapat banyak ketentuan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak yang telah dilanggar oleh para pelaku usaha industri film dan iklan terhadap anak yang bekerja dalam film sebagai aktor. Seperti Pasal 68, Pasal 69 Ayat 1,Pasal 69 dan Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja. Termasuk juga pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945.
Begitupun dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak yang telah dilanggar oleh orang tua anak yang bekerja dalam film sebagai artis ataupun aktor. Seperti Poin a dan b Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Termasuk juga pada Pasal 28J Ayat 1 UUD 1945, serta Pasal 1 Poin b Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
3.2 Saran
1. Seharusnya pemerintah lebih meningkatkan lagi perlindungan terhadap anak-anak.
2. Sebaiknya orang tua dan pengusaha tidak melakukan eksploitasi terhadap anak-anak karena itu bisa mengganggu pola pikir dan perkembangan anak.
3. Seharusnya ketentuan perundang-undangan mengatur secara tegas dan memberikan sanksi yang tegas pula kepada mereka yang melanggar.
Nama : Nasrullah
NM : 07400012
Kelas : III/A
Tugas : Hukum Administrasi Negara (UAS)

1.
(1.a) Ada banyak sanksi-sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kita, seperti misalnya dalam Undang-undang kepegawaian (Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian), dalam Undang-Undang Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Di Indonesia, paksaan pemerintah (bestuurdwang) sudah dikenal sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya. Undang-undang tersebut memberi kewenangan kepada penguasa daerah pada waktu itu untuk bertindak secara bestuurdwang. Tindakan bestuurdwang dimaksud yakni wewenang bagi Penguasa Daerah guna memerintahkan kepada seorang pemakai tanah tanpa izin untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan dengan segala bidang dan orang yang menerima hak dari padanya atau dalam hal setelah berlakunya tenggang waktu yang ditentukan di dalam perintah pengosongan dan ternyata belum dipenuhi oleh yang bersangkutan, maka penguasa daerah yang bersangkutan atau pejabat yang diberi perintah olehnya melaksanakan pengosongan atas biaya pemakai tanah sendiri. Sementara itu di Belanda, paksaan pemerintah merupakan tindakan nyata yang dilakukan oleh organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

(1.b) Pelaksanaan paksaan pemerintah (bestuurdwang) adalah wewenang, bukan kewajiban. Artinya, sebelum menjalankan bestuurdwang, badan pemerintah wajib mempertimbangkan semua kepentingan yang terkait. Di antara yang harus dipertimbangkan adalah kepentingan umum yang dirugikan oleh keadaan ilegal; kepentingan pencegahan pengaruh preseden; dan kepentingan pihak ketiga (biasanya bagi orang-orang yang diam di sekitarnya). Selain pertimbangan di atas, patut pula dipertimbangkan kepentingan dari pelanggar dengan dipertahankannya keadaan yang ilegal; masalah-masalah praktis atau ketidakmungkinan; pembiayaan yang tinggi dari paksaan pemerintah (bestuurdwang); dan jika perlu ditindak sesuai hukum pidana (tidak menggunakan instrumen hukum administrasi).
Pelaksanaan paksaan pemerintah (bestuurdwang) wajib didahului dengan surat peringatan tertulis yang dituangkan dalam bentuk KTUN. KTUN dimaksud harus dikeluarkan oleh Pejabat/Bada Tata Usaha yang berwenang seperti Kepala Daerah. Surat peringatan tertulis tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Peringatan itu tidak dapat diadakan secara tanpa ikatan.
b. Perintah tertulis/peringatan tertulis harus memuat perintah yang jelas. Harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh warga negara yang mendapat surat pemberitahuan guna mencegah pemerintah mengambil tindakan-tindakan nyata.
c. Surat perintah harus memuat ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang dilanggar.
d. Harus ditentukan suatu jangka waktu perintah harus dilaksanakan.
e. Perintah harus ditujukan pada yang berkepentingan, yang menurut kenyataan memang juga mampu mengakhiri pelanggaran itu. Bisa ditujukan langsung kepada pelanggar atau pihak yang memiliki tempat yang digunakan oleh pelanggar.
f. Eksplisit atau implisit harus nyata bahwa biaya-biaya dalam hal tata usaha negara harus berindak, akan dibebankan pada pelanggar.
Selain syarat-syarat di atas, N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge sebagaimana disarikan oleh Ridwan HR., menambahkan beberapa hal sebagai berikut:
a. Harus menyebut organ yang berwenang yang memberikan peringatan tertulis tersebut.
b. Harus digambarkan dengan jelas pelanggaran yang nyata. Syarat ini muncul dari yurisprudensi, yaitu pembebaran yang jelas dari keadaan atau tingkah laku yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang.
c. Pemberian beban harus jelas dan seimbang.
d. Pemberian beban harus tak bersyarat.
e. Beban mengandung pemberian alasannya.
Dalam hal penerapan paksaan pemerintah (bestuurdwang), tata usaha negara harus pula memperhatikan syarat-syarat kecermatan. Tata usaha negara selayaknya tidak menimbulkan kerugian yang berlebihan bagi yang berkepentingan. Pembongkaran tidak perlu dilakukan dengan kasar.
2.
(2.a) Pengertian atau konsep Beschikking lebih luas dibandingkan dengan pengertian atau konsep keputusan Tata Usaha Negara. Dalam beschikking, ketetapan lisan pun telah dianggap sebagai beschikking. Sedangkan dalam Keputusan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis (Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN)
(2.b) Tidak semua keputusan Tata Usaha Negara yang dapat digugat melalui PTUN. Hanya keputusan yang sebagaimana dengan maksud pada Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN yaitu Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata. Jadi harus memenuhi unsur-unsur:
1. Penetapan tertulis
2. dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
3. berisi tindakan tata usaha negara
4. berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5. bersifat kongkrit, Individual, Final
6. menimbulkan akibat hukum
7. bagi orang atau badan hukum perdata
Juga bukan keputusan Tata Usaha Negara yang disebut pada Pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persertujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat huum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan Komsi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah.
3.
(3.A) Bentuk perlindungan hukum yang preventif, menekankan akseptabilitas sebuah peraturan di tengah masyarakat. Selama ini,bentuk perlindungan seperti ini masih kurang terakomodir. Hal ini karena besarnya benturan kepentingan antara anggota pembuat peraturan di negeri ini. Contoh peraturan perundang-undangan yang dhasilkan dari bentuk seperti ini adalah Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Kemudian bentuk perlindungan hokum refresif, kurang memperhatikan pertimbangan public secara luas, dan peraturan perundang-undang yang dihasilkan lebih sering mendatangkan penolakan dari masyarakat. Contoh Undang-Undang Tentang Badan Hukum Pendidikan, Undang-Undang Tentang Pornografi dan Porno Aksi.

(3.b) Model perlindungan hukum yang lebih mengedepankan pelayanan publik adalah dititik beratkan pada saat pembuatan peraturan hukum tersebut. Keterimaan atau akseptabilitas peraturan tersebut harus terjamin di masyarakat, dan peruntukan peraturan tersebut adalah untuk kepentingan masyarakat, bukan hanya karena kepentingan politik belaka. Hukum dibuat untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk hukum.
4.
(4.a) Pengaturan tentang kewenagan dan hak Komisi Ombudsman dalam Keppres No. 44 Tahun 2000 masih sangat minim, hal ini karena pada saat itu aturan tentang Ombudsman bersifat premature dan terkesan dadakan. Baru kemudian pada bulan oktober 2008 dapat disahkan peraturan tentang Ombudsman yang lebih lengka setelah melalui pembahasan yang lumayan panjang.
Pertama dan yang cukup signifikan adalah pemberiaan ekslusivitas atas nama “Ombudsman”. Pasal 46 Bab Ketentuan Peralihan UU No.37 Tahun 2008 menyatakan “Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, nama Ombudsman yang telah digunakan sebagai nama institusi, lembaga, badan hukum,terbitan atau lainnya yang bukan merupakan lembaga Ombudsman yang melaksanakan fungsi dan tugas berdasarkan undang-undang ini harus diganti dalam waktu paling lambat dua tahun sejak berlakunya undang-undang ini”.
Selain itu, UU Ombudsman memberi penambahan kewenangan Ombudsman dalam menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak (Pasal 8 ayat(1) huruf e). UU ini juga merampingkan komposisi Ombudsman yang awalnya berdasarkan Keppres berjumlah 11 orang, menjadi hanya tujuh orang. Masa jabatanditetapkan berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan tambahan.
Dalam menangani laporan, setiap pimpinan dan anggota Ombudsman diwajibkanmerahasiakan identitas pelapor. Kewajiban ini melekat terus meski pimpinan dan anggota yang bersangkutan berhenti atau diberhentikan. Namun, kewajiban ini dapat dikesampingkan dengan alasan demi kepentingan publik yangmeliputi kepentingan bangsa dan negara serta masyarakat luas.
Demi efektivitas kerjanya, Ombudsman juga diberi kewenangan untukmelakukan pemeriksaan lapangan ke objek pelayanan publik yang dilaporkan, tanpapemberitahuan terlebih dahulu. Inspeksi “dadakan” ini tetap harus memperhatikanketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban dan kesusilaan. Untukmenjaga netralitas, UU Ombudsman memuat aturan yang melarang pimpinanatau anggota Ombudsman turut serta memeriksa laporan jika di dalamnya memuatinformasi yang mengandung atau dapat menimbulkan konflik kepentingan.
UU Ombudsman ini juga memberikan dua hak ekslusif untuk Ombudsman. Pertama, hak imunitas atau kekebalan sebagai dukungan penuh terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman. Dengan imunitas ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 10, maka Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut atau digugat di muka pengadilan. Pada bagian penjelasan disebutkan imunitas tidak berlakuapabila Ombudsman melakukan pelanggaran hukum.
Kedua, upaya pemanggilan paksa. Pasal 31 menyatakan “Dalam hal terlapor dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a telah dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian untuk menghadirkan yang bersangkutan secara paksa”.
(4.b) Komisi Ombudsman Nasional adalah alternatif pilihan tepat masyarakat apabila ada keluhan kepada kegiatan-kegiatan administrasi pemerintahan. Hal ini karena proses ke ombudsman yang mudah dan tidak butuh proses yang panjang. Cukup hanya dengan menelpon ke Call Centre nya di Jakarta, kemudian KON akan melakukan pemeriksaan terhadap lembaga administrasi yang bermasalah tersebut dan akan dikeluarkan surat rekomendasi pada lembaga tersebut untuk memperbaiki citranya. Di bandingkan dengan proses di Peradilan Tata Usaha Negara yang memerlukan waktu yang tidak sedikit juga lumayan rumit. Namun, kekuatan hukum hasil keputusan peradilan Tata Usaha Negara lebih kuat karena sudah menjadi kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang (Pasal 48 Ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Sumber Bacaan:
-Philipus M. Hadjon. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press.1993. Yogyakarta
-http://www.hukumonline.com
-http://www.ombudsman.go.id
-Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
-Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
-Undang-Undang No.37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya
-Keputusan Presiden No.44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional

Senin, 15 Desember 2008

“RESTRUKTURISASI dan PRIVATISASI BUMN”

Nama : Nasrullah
NIM : 07400012
Kelas : III-A
Tugas
“RESTRUKTURISASI dan PRIVATISASI BUMN”

Pengertian Restrukturisasi

Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan.

Pengertian Privatisasi

Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

Maksud dan Tujuan Restrukturisasi

1.Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional.
2.Tujuan restrukturisasi adalah untuk:
a)meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan;
b)memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara;
c)menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen; dan
d)memudahkan pelaksanaan privatisasi.
3.Pelaksanaan restrukturisasi sebagaimana dimaksud di atas tetap memperhatikan asas biaya dan manfaat yang diperoleh.

Ruang Lingkup Restrukturisasi
:
a)restrukturisasi sektoral yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebijakan sektor dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
b)restrukturisasi perusahaan/korporasi yang meliputi :
1.peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektor-sektor yang terdapat monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah;
2.penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan BUMN selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang baik dan menetapkan arah dalam rangka pelaksanaan kewajiban pelayanan publik;
3.restrukturisasi internal yang mencakup keuangan, organisasi/ manajemen, operasional, sistem, dan prosedur.

Maksud dan Tujuan Privatisasi

1.Privatisasi dilakukan dengan maksud untuk :
a)memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero;
b)meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan;
c)menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat;
d)menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif;
e)menciptakan Persero yang berdaya saing dan berorientasi global;
f)menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.
2.Privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero.

Prinsip Privatisasi

Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.


Kriteria Perusahaan yang dapat diprivatisasi
1.Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria:
a)industri/sektor usahanya kompetitif; atau
b)industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah.
2.Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan Undang-undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi.

Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
a)Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
b)Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
c)Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
d)Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.

Cara Pelaksanaan Privatisasi
a)penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal;
b)penjualan saham langsung kepada investor;
c)penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.

Komite Privatisasi

1.Untuk membahas dan memutuskan kebijakan tentang privatisasi sehubungan dengan kebijakan lintas sektoral, pemerintah membentuk sebuah komite privatisasi sebagai wadah koordinasi.
2.Komite privatisasi dipimpin oleh Menteri Koordinator yang membidangi perekonomian dengan anggota, yaitu Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Teknis tempat Persero melakukan kegiatan usaha.
3.Keanggotaan komite privatisasi sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Komite privatisasi bertugas untuk:
a)merumuskan dan menetapkan kebijakan umum dan persyaratan pelaksanaan Privatisasi;
b)menetapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperlancar proses Privatisasi;
c)membahas dan memberikan jalan keluar atas permasalahan strategis yang timbul dalam proses Privatisasi, termasuk yang berhubungan dengan kebijakan sektoral pemerintah.


Komite privatisasi dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud di atas dapat mengundang, meminta masukan, dan/atau bantuan instansi pemerintah atau pihak lain yang dipandang perlu.

Ketua komite privatisasi secara berkala melaporkan perkembangan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden.

Dalam melaksanakan Privatisasi, Menteri bertugas untuk:

a)menyusun program tahunan Privatisasi;
b) mengajukan program tahunan Privatisasi kepada komite privatisasi untuk memperoleh arahan;
c)melaksanakan Privatisasi.

Tata Cara Privatisasi

1.Privatisasi harus didahului dengan tindakan seleksi atas perusahaanperusahaan dan mendasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
2.Terhadap perusahaan yang telah diseleksi dan memenuhi kriteria yang telah ditentukan, setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Keuangan, selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat serta dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
3.Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Privatisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Setiap orang dan/atau badan hukum yang mempunyai potensi benturan kepentingan dilarang terlibat dalam proses Privatisasi.

Kerahasiaan Informasi

1.Pihak-pihak yang terkait dalam program dan proses Privatisasi diwajibkan menjaga kerahasiaan atas informasi yang diperoleh sepanjang informasi tersebut belum terbuka.
2.Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hasil Privatisasi

1.Hasil Privatisasi dengan cara penjualan saham milik negara disetor langsung ke Kas Negara.
2.Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran hasil Privatisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sumber Bacaan: Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.

Selasa, 21 Oktober 2008

Rancangan Cerpen atau Novel, tak tahu aku namanya

Malam itu tepatnya di sebuah surau, laki-laki itu tertidur pulas, lupa kalau dia ada janji dengan seorang ustadz di desa sebelah desanya. Dia ketiduran di surau itu setelah melaksanakan sholat isya.
“waduh, jam berapa ini” serentak iya terbangun dan melihat jam bundar di dinding surau.
“mudah-mudahan gak dimarahin sama ustads buhori”
Kemudian iya bergegas keluar dari surau dengan wajah yang masih

bersambung....
(Oleh Nasrullah)

Pengertian kejahatan

Pengertian kejahatan:

Paul W Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah The Criminal Law (statutory or case law), commited without defense or excuse, and penalized by the state as a felony and misdemeanor.


Huge D Barlow juga menyatakan bahwa definisi dari kejahatana adalah a human act that violates the criminal law.


Sutherland menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatab yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai pamungkas.


Bonger menayatakan bahwa kejahatan adalah merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.


Sumber bacaan: Santoso, Topo., dan Achjani Zulfa, Eva., Kriminologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002

Pengertian kejahatan:


R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis

dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian

kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undangundang.

Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah

perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat

merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan

ketertiban.


J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial

yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam

masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara

harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.


M.A. Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam

masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat

dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.


Menurut Paul Moedikdo Moeliono kejahatan adalah perbuatan pelanggaran

norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan

yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).


J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks Dalam

Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu,

merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas

dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun

pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu

perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan

hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.

Sumber bacaan: Syahruddin Husein, SH . http://www.library.usu.ac.id






Kejahatan adalah perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu dan yang dilakukan dengan sengaja, merugikan ketertiban umum dan yang dapat dihukum oleh negara (abdul wahid dan muhammad irfan, perlindungan terhadap korban kekerasan, refika aditama, bandung, 2001)

Sabtu, 18 Oktober 2008

DAMPAK KENAIKAN BBM YANG DITAKUTI MASYARAKAT BAWAH

Oleh : Nasrullah

Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

”Harga BBM naik tidak jadi masalah, yang jelas harga barang-barang pokok seperti beras, minyak goreng, ikan, dan sebagainya tidak ikut naik”. Ujar seorang Ibu rumah tangga dalam barisan antrian membeli minyak tanah di sebuah stasiun televisi nasional (ANTV, 19 Mei 2008). Hal inilah yang merupakan ketakutan paling besar rakyat kita ketka BBM (Bahan Bakar Minyak) mengalami kenaikan harga, yaitu melonjaknya harga barang-barang pokok lainnya.

Ketika harga BBM naik maka kemiskinanpun akan semakin banyak. Hal ini terjadi karena ikut naiknya harga barang-barang pokok lainnya. Hal ini senada dengan teori yang pernah disampaikan oleh Guy Standing bahwa kemiskinan dapat timbul dari(a) resiko-resiko akbat guncangan ekonomi seperti naiknya harga-harga, penyakit, keelakaan, bencana alam; (b) kemampuan warga atau kelompok warga yang terbatas untuk memulihkan diri sesudah gangguan ekonomi (Kompas, 5 April 2008).

Kejadian pada tahun 2005 yang lalu, sangat bisa menjadi pelajaran yang berharga. Dimana pada waktu itu, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM beberapa persen. Setelah kenaikan harga itu, harga barang-barang pokok lainnya pun ikut naik, termasuk juga barang-barang golongan mewah. Setelah terjadi gejolak pasar seperti itu, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan BLT ( Bantuan Langsung Tunai) untuk membantu masyarakat miskin yang kian melarat akibat kenaikan harga barang-barang tersebut. Namun, sifat bantuan seperti ini hanyalah bersifat penyembuhan (Kompas, 5 April 2008), bukan sebuah jalan keluar yang ideal.

Tahun 2008 ini pemerintah memutuskan lagi untuk menaikkan harga BBM. Alasannya adalah untuk melakukan penyelamatan APBN 2008. Pertanyaan yang timbul sekarang adalah apakah pemerintah ingin menyelamatkan rakyat atau APBN belaka? Lagi-lagi untuk menutup-nutupi kelemahannya akan ketidak mampuannya mencari penyelesaian yang lebih baik. Pemerintah akhirnya mengeluarkan lagi kebijakan BLT. Sekali lagi, sungguh kebijakan seperti ini hanya bersifat Penyembuhan belaka dan bersifat temporer.

Tindakan yang paling efektif dilakukan saat ini adalah tidak menaikkan harga BBM. Rasionalisasinya adalah efek yang ditimbulkannya di tingkat pasar. Lebih baik melakukan penyelamatan terhadap rakyat ketimbang menyelamatkan APBN yang masih rawan akan penyimpangan dan pemborosan. Disamping cara yang disebutkan di atas, tindakan yang lebih efektif lagi untuk jangka panjan dan efeknya akan dirasakan di masa yang akan datang adalah melakukan perampingan kabinet (Kwik Kian Gie), diversifikasi energi, pemberdayaan ekonomi mikro, dan nasionalisasi BUMN.

TINDAKAN ANARKI DEMONSTRAN ADALAH REAKSI

Oleh : Nasrullah
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang


Akhir-akhir ini banyak demonstrasi digiatkan lagi oleh beberapa kelompok masyarakat, seperti kelompok mahasiswa, buruh, petani, dan sebagainya. Stimulus yang membuat mereka melakukan demonstrasi ada kesamaan, yaitu ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini. Salah satu Pendukung kegiatan demonstrasi sperti ini adalah Amin Rais. Beliau mengatakan bahwa termasuk unsur penegak demokrasi adalah adanya demonstrasi, yaitu dengan kebebasan berbicara dan mengkritik pemerintahan (MetroTV, 2008).

Permasalahan yang timbul sekarang adalah kecendrungan berbuat anarki demonstran. Di beberapa media diberitakan bahwa sering terjadi tindakan anarki oleh demonstran. Namun, jarang media yang mencoba mengungkapkan apa yang menjadi penyebab sehingga terjadi seperti itu. Sungguh kalau ingin dikaji secara sosiologis, maka akar utama penyebab terjadinya tindakan anarki demonstran adalah ulah pemerintah sendiri. Alasannya adalah kebanyakan pemerintah tidak berani membuka dialog dan setidaknya mendengarkan aspirasi yang ingin disampaikan oleh para demonstran. Lihat saja di berita-berita di televisi nasional, kebanyakan tindakan anarki demonstran terjadi di depan pintu gerbang wakil rakyat yang terhormat itu atau DPR.

Solusi atas masalah ini sebenarnya sangatlah mudah, yaitu pertama, perlu kesiapan pemerintah secara sungguh-sungguh untuk membuka dialog dan mendengar aspirasi para demonstran, kedua, adalah disamping perlunya kesiapan dari pemerintah tersebut, diperlukan juga manejemen aksi yang baik oleh para korlap (koordinator lapangan) demonstrasi, sehingga mereka tidak mudah diprovokasi. Dengan adanya dua solusi yang telah disebutkan diatas, ke depannya demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan tidak lagi anarki.

PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL

Oleh Amirul Mukminin

Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.

Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?

Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.

PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.

Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.

Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).

Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.

Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.

Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.

Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.

Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.

Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.

Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?

Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.

Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.

Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.

PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.

Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.

Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?

Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.

Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.
Sumber: http://re-searchengines.com/amukminin.html

Tahun 2020 Indonesia Kehabisan Guru

Oleh Mochammad Asyhar
hari-hari terakhir ini sedang gencar ditayangkan dua iklan layanan masyarakat di setasiun-stasiun televisi, baik TVRI maupun stasiun televisi swasta. Iklan yang satu berisi pesan tentang anak asuh dan yang lain melukiskan kekurangan guru di negeri kita tercinta ini. Walaupun hanya berdurasi beberapa detik, kedua iklan ini cukup mengundang perhatian, terutama iklan yang disebutkan terakhir.

Kekurangan guru. Sungguh sebuah realitas potret pendidikan kita (salah satu sisi) yang sangat menyedihkan. Betapa tidak, pendidikan adalah modal utama terciptanya kemajuan peradaban sebuah bangsa. Di pihak lain, guru sebagai tenaga profesional di bidang ini justru jumlahnya semakin langka.

Lalu, apa jadinya jika pada tahun-tahun mendatang tidak mudah dijumpai sosok guru? Barangkali Anda semua sudah tahu jawabannya. Sudah pasti peradapan kebudayaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini semakin parah daripada kondisi sekarang. Mengapa sampai terjadi kondisi seperti ini?

KILAS BALIK
Keadaan pendidikan seperti dipaparkan pada bagian sebelumnya tentu tidak terjadi bagitu saja. Hal itu pasti ada pemicunya. Penyebab kekeurangan guru yang akan saya paparkan di sini bukan berasal dari hasil penelitian mendalam, tetapi sekadar pengamatan sekilas dan dugaan. Penyebab penurunan jumlah sumber daya manusia (SDM), dalam hal ini guru, akhir-akhir adalah ditutupnya lembaga-lembaga pendidikan keguruan.

Pada paruh pertama tahun 1990-an semua Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Pendidikan Guru Agama (PGA) ditutup. Penutupan lembaga pendidikan tersebut beralasan bahwa jenjang pendidikan dasar sudah tidak layak lagi diajar oleh guru-guru tamatan SPG yang notabene hanya berjenjang pendidikan menengah. Sebagai gantinya dibukalah Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Selain itu, sebelum penutupan lembaga-lembaga pendidikan keguruan itu didahului dengan lahirnya sebuah kebijakan yang menetapkan bahwa lulusan SPG tidak otomatis atau langsung diangkat sebagai pegawai negeri, kecualai beberapa orang siswa berprestasi pada tiap angkatan. Akibatnya, banyak lulusan SPG yang beralih ke profesi lain, misalnya pekerja pabrik atau tambak. Fakta seperti ini sangat disayangkan karena para siswa SPG adalah siswa pilihan. Lulusan SLTP yang dapat diterima di SPG adalah siswa yang mempunyai NEM minimum 42,00 dan harus melalui ujian saringan yang bertahap-tahap. Hal itu menunjukkan bahwa yang dapat d iterima di SPG adalah manusia-manusia cerdas dan pilihan. Jadi, mereka sebenarnya adalah tenaga-tenaga potensial.

Berikutnya, menjelang akhir tahun 2000, semua IKIP di Indonesia berubah menjadi universitas meskipun masih ada beberapa STKIP dan FKIP di universitas-universitas. Perubahan status ini tentunya diikuti juga perubahan visi dan misi. Semula berstatus Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK)sebagai pencetak tenaga-tenaga pendidik profesional berubah menjadi universitas yang mencetak sarjana-sarjana ilmu murni. Barangkali kebijakan ini bertujuan untuk mencapai target sarjana-sarjana andal di bidang IPTEK dalam rangka menyongsong lahirnya Negara Indonesia sebagai negara maju berbasis teknologi. Obsesi seperti ini sangat bagus. Akan tetapi, penyakit latah bangsa Indonesia ini sukar sekali hilang. Artinya, pada waktu kibijakan perubahan status IKIP menjadi universitas itu disetujui, seharusnya beberapa IKIP di Jawa, Sumatera dan Sulawesi yang sudah berkualitas tetap dipertahankan. Dengan demikian, jumlah guru nantinya tetap tercukupi karena sampai kapan pun sektor pendidikan di sebu ah bangsa tidak akan ditutup. Hal itu berarti bahwa sampai kapan pun tenaga guru masih dibutuhkan.

APA SOLUSINYA
Kekurangan guru, seperti diilustrasikan dalam iklan layanan masyarakat di televisi, baru terjadi pada jenjang pendidikan dasar. Apabila diamati, fenomena ini cukup realistis menggingat penutupan SPG dan PGA sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Lulusan PGSD pun tidak semuanya dapat diterima sebagai pegawai negeri. Sementara itu, pada jenjang pendidikan menengah fenomena kekurangan guru masih belum terasakan. Hal itu wajar karena penutupan IKIP-IKIP baru dua tiga tahun terakhir. BISAKAH ANDA BAYANGKAN PADA TAHUN 2020 MENDATANG?

Untuk mengatasi persoalan kekurangan guru pada jenjang pendidikan dasar, barangkali buah pikiran saya ini dapat dijadikan bahan diskusi. Setelah kebijakan yang menghentikan pengangkatan tenaga guru sekolah dasar (SD), banyak lulusan SPG atau PGA beralih profesi ke bidang lain. Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi mengingat mereka adalah tenaga-tenaga pilihan. Ditambah lagi oleh sistem penerimaan mahasiswa PGSD. Dari awal dibukanya, PGSD menerima mahasiswa dari lulusan SMA. Materi soal tesnya pun disesuaikan dengan standar pengajaran di SLTA umum. Tentu saja hal ini merupakan kendala bagi lulusan SPG atau PGA untuk bersaing dengan lulusan SMA karena materi yang diajarkan di SLTA umum dan kejuruan sudah barang tentu berbeda. Akhirnya, para lulusasan SPG jarang yang diterima.

Pada saat perekrutan mahasiswa PGSD seharusnya yang diutamakan terlebih dahulu adalah lulusan SPG atau PGA. Baru kemudian setelah semua lulusan SPG atau PGA ini sudah habis, perekrutan dibuka untuk lulusan SMA.

Akhirnya, untuk mengatasi persoalan kekurangan guru SD, mengapa tidak dicoba untuk memanggil kembali lulusan SPG dan PGA yang belum sempat diterima sebagai guru negeri? Beri mereka beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di PGSD atau STKIP. Setelah lulus langsung diangkat sebagai tenaga guru negeri.
Sumber:http://re-searchengines.com/asyhar.html

Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang

Oleh Drs. Nurkolis, MM
Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).

Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.

Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.

Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.

Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).

Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Nilai

Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).

Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.

Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.

Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi

Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).

Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.

Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.

Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.

Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.

Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.

Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.

Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.
Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya di Jakarta.
Sumber:http://re-searchengines.com/nurkolis5.html

Tahun 2020 Indonesia Kehabisan Guru

Oleh Mochammad Asyhar
hari-hari terakhir ini sedang gencar ditayangkan dua iklan layanan masyarakat di setasiun-stasiun televisi, baik TVRI maupun stasiun televisi swasta. Iklan yang satu berisi pesan tentang anak asuh dan yang lain melukiskan kekurangan guru di negeri kita tercinta ini. Walaupun hanya berdurasi beberapa detik, kedua iklan ini cukup mengundang perhatian, terutama iklan yang disebutkan terakhir.

Kekurangan guru. Sungguh sebuah realitas potret pendidikan kita (salah satu sisi) yang sangat menyedihkan. Betapa tidak, pendidikan adalah modal utama terciptanya kemajuan peradaban sebuah bangsa. Di pihak lain, guru sebagai tenaga profesional di bidang ini justru jumlahnya semakin langka.

Lalu, apa jadinya jika pada tahun-tahun mendatang tidak mudah dijumpai sosok guru? Barangkali Anda semua sudah tahu jawabannya. Sudah pasti peradapan kebudayaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini semakin parah daripada kondisi sekarang. Mengapa sampai terjadi kondisi seperti ini?

KILAS BALIK
Keadaan pendidikan seperti dipaparkan pada bagian sebelumnya tentu tidak terjadi bagitu saja. Hal itu pasti ada pemicunya. Penyebab kekeurangan guru yang akan saya paparkan di sini bukan berasal dari hasil penelitian mendalam, tetapi sekadar pengamatan sekilas dan dugaan. Penyebab penurunan jumlah sumber daya manusia (SDM), dalam hal ini guru, akhir-akhir adalah ditutupnya lembaga-lembaga pendidikan keguruan.

Pada paruh pertama tahun 1990-an semua Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Pendidikan Guru Agama (PGA) ditutup. Penutupan lembaga pendidikan tersebut beralasan bahwa jenjang pendidikan dasar sudah tidak layak lagi diajar oleh guru-guru tamatan SPG yang notabene hanya berjenjang pendidikan menengah. Sebagai gantinya dibukalah Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Selain itu, sebelum penutupan lembaga-lembaga pendidikan keguruan itu didahului dengan lahirnya sebuah kebijakan yang menetapkan bahwa lulusan SPG tidak otomatis atau langsung diangkat sebagai pegawai negeri, kecualai beberapa orang siswa berprestasi pada tiap angkatan. Akibatnya, banyak lulusan SPG yang beralih ke profesi lain, misalnya pekerja pabrik atau tambak. Fakta seperti ini sangat disayangkan karena para siswa SPG adalah siswa pilihan. Lulusan SLTP yang dapat diterima di SPG adalah siswa yang mempunyai NEM minimum 42,00 dan harus melalui ujian saringan yang bertahap-tahap. Hal itu menunjukkan bahwa yang dapat d iterima di SPG adalah manusia-manusia cerdas dan pilihan. Jadi, mereka sebenarnya adalah tenaga-tenaga potensial.

Berikutnya, menjelang akhir tahun 2000, semua IKIP di Indonesia berubah menjadi universitas meskipun masih ada beberapa STKIP dan FKIP di universitas-universitas. Perubahan status ini tentunya diikuti juga perubahan visi dan misi. Semula berstatus Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK)sebagai pencetak tenaga-tenaga pendidik profesional berubah menjadi universitas yang mencetak sarjana-sarjana ilmu murni. Barangkali kebijakan ini bertujuan untuk mencapai target sarjana-sarjana andal di bidang IPTEK dalam rangka menyongsong lahirnya Negara Indonesia sebagai negara maju berbasis teknologi. Obsesi seperti ini sangat bagus. Akan tetapi, penyakit latah bangsa Indonesia ini sukar sekali hilang. Artinya, pada waktu kibijakan perubahan status IKIP menjadi universitas itu disetujui, seharusnya beberapa IKIP di Jawa, Sumatera dan Sulawesi yang sudah berkualitas tetap dipertahankan. Dengan demikian, jumlah guru nantinya tetap tercukupi karena sampai kapan pun sektor pendidikan di sebu ah bangsa tidak akan ditutup. Hal itu berarti bahwa sampai kapan pun tenaga guru masih dibutuhkan.

APA SOLUSINYA
Kekurangan guru, seperti diilustrasikan dalam iklan layanan masyarakat di televisi, baru terjadi pada jenjang pendidikan dasar. Apabila diamati, fenomena ini cukup realistis menggingat penutupan SPG dan PGA sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Lulusan PGSD pun tidak semuanya dapat diterima sebagai pegawai negeri. Sementara itu, pada jenjang pendidikan menengah fenomena kekurangan guru masih belum terasakan. Hal itu wajar karena penutupan IKIP-IKIP baru dua tiga tahun terakhir. BISAKAH ANDA BAYANGKAN PADA TAHUN 2020 MENDATANG?

Untuk mengatasi persoalan kekurangan guru pada jenjang pendidikan dasar, barangkali buah pikiran saya ini dapat dijadikan bahan diskusi. Setelah kebijakan yang menghentikan pengangkatan tenaga guru sekolah dasar (SD), banyak lulusan SPG atau PGA beralih profesi ke bidang lain. Hal itu seharusnya tidak boleh terjadi mengingat mereka adalah tenaga-tenaga pilihan. Ditambah lagi oleh sistem penerimaan mahasiswa PGSD. Dari awal dibukanya, PGSD menerima mahasiswa dari lulusan SMA. Materi soal tesnya pun disesuaikan dengan standar pengajaran di SLTA umum. Tentu saja hal ini merupakan kendala bagi lulusan SPG atau PGA untuk bersaing dengan lulusan SMA karena materi yang diajarkan di SLTA umum dan kejuruan sudah barang tentu berbeda. Akhirnya, para lulusasan SPG jarang yang diterima.

Pada saat perekrutan mahasiswa PGSD seharusnya yang diutamakan terlebih dahulu adalah lulusan SPG atau PGA. Baru kemudian setelah semua lulusan SPG atau PGA ini sudah habis, perekrutan dibuka untuk lulusan SMA.

Akhirnya, untuk mengatasi persoalan kekurangan guru SD, mengapa tidak dicoba untuk memanggil kembali lulusan SPG dan PGA yang belum sempat diterima sebagai guru negeri? Beri mereka beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di PGSD atau STKIP. Setelah lulus langsung diangkat sebagai tenaga guru negeri.
Sumber:http://re-searchengines.com/asyhar.html